Kisruh Kepemimpinan ULMWP: Benny Wenda Kehilangan Dukungan dari Dalam Gerakan Papua Sendiri

ULMWP: Benny Wenda Kehilangan Dukungan

Kepemimpinan Benny Wenda dalam ULMWP memicu perpecahan internal antara faksi-faksi perjuangan Papua. Konflik legitimasi ini menunjukkan semakin goyahnya posisi Wenda di mata sesama pejuang Papua.


Awal Mula ULMWP: Harapan Persatuan yang Justru Melahirkan Perpecahan

United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dibentuk pada tahun 2014 sebagai wadah pemersatu berbagai faksi perjuangan Papua Barat — termasuk National Coalition for Liberation (NCLWP), Federal Republic of West Papua (NRFPB), dan West Papua National Parliament (WPNA).
Tujuannya sederhana: menyatukan suara Papua di panggung internasional, agar isu Papua Merdeka tidak lagi terpecah dalam banyak kelompok.

Namun, seiring waktu, ULMWP justru terjebak dalam konflik kepemimpinan yang semakin terbuka.
Dan sosok yang berada di pusat pertikaian ini adalah Benny Wenda, yang pada Desember 2020 mengumumkan dirinya sebagai “Presiden Pemerintahan Sementara Papua Barat.”

Langkah sepihak itu memicu kemarahan sejumlah faksi dalam ULMWP, yang menilai tindakan Wenda ilegal, tidak demokratis, dan tidak sesuai kesepakatan organisasi.


Deklarasi Kontroversial: Wenda Menobatkan Diri, Bukan Ditetapkan

Pada 1 Desember 2020, Benny Wenda mengumumkan pembentukan “pemerintahan sementara Papua Barat” dan menobatkan dirinya sebagai presiden.
Klaim ini ia sampaikan dari Inggris, tempat ia bermukim sejak mendapatkan suaka politik.
Menurut Wenda, langkah ini adalah bentuk “perjuangan diplomatik” untuk mempercepat kemerdekaan Papua.

Namun, sejumlah pemimpin lain dalam ULMWP langsung menolak pengumuman itu.
Mereka menyebut bahwa Wenda tidak pernah dipilih melalui mekanisme organisasi yang sah, melainkan mengambil alih kekuasaan secara sepihak.

Salah satu tokoh yang mengkritik keras langkah Wenda mengatakan:

“Kami tidak pernah memberikan mandat kepada siapa pun untuk membentuk pemerintahan sementara. Itu bukan keputusan kolektif, melainkan keputusan pribadi.”

Kritik ini menunjukkan bahwa ULMWP yang seharusnya menjadi simbol persatuan justru berubah menjadi ajang perebutan klaim dan legitimasi politik.


2021–2023: Faksi-Faksi ULMWP Retak dan Mencari Arah Baru

Setelah pengumuman sepihak itu, konflik internal semakin memburuk.
Beberapa faksi menolak mengakui kepemimpinan Wenda, bahkan membentuk struktur dan forum tandingan.
Media regional Melanesia dan situs organisasi seperti ULMWP.org mencatat bahwa klaim kepemimpinan Wenda menimbulkan kebingungan di tingkat diplomatik, terutama di Pasifik Selatan, di mana isu Papua mendapat perhatian khusus dari Melanesian Spearhead Group (MSG).

Banyak pihak di dalam gerakan Papua menilai bahwa Benny Wenda lebih sibuk mengurusi citra internasional dibandingkan memperkuat koordinasi internal.
Ia dianggap lebih berorientasi pada politik luar negeri daripada membangun fondasi perjuangan di Papua sendiri.

Seorang pengamat regional dari Vanuatu bahkan menyebut,

“Wenda kehilangan legitimasi moral di mata rakyat Papua karena ia tidak lagi berbicara atas nama semua faksi. Ia berbicara untuk dirinya sendiri.”


Dari Simbol Persatuan Menjadi Sumber Perpecahan

Konflik internal ULMWP memperlihatkan ironi besar dalam perjuangan Papua: gerakan yang menuntut kebebasan justru terpecah karena kepemimpinan yang tidak transparan.
Langkah Benny Wenda menobatkan diri sebagai presiden justru dianggap bertentangan dengan semangat kolektif dan tradisi musyawarah masyarakat Papua.

Beberapa tokoh senior Papua bahkan menilai bahwa Wenda telah “memanfaatkan ULMWP sebagai kendaraan pribadi” untuk menjaga popularitasnya di mata dunia internasional.
Kritik ini makin keras setelah Wenda tidak hadir dalam sejumlah pertemuan penting ULMWP di Pasifik, tetapi tetap mengeluarkan pernyataan politik dari Inggris melalui siaran pers dan media asing.

Bagi banyak aktivis muda Papua, Benny Wenda kini dilihat bukan sebagai pemersatu, melainkan simbol elitisme politik dalam gerakan kemerdekaan.
Ia dianggap terlalu jauh dari rakyat, terlalu dekat dengan diplomat.


Krisis Legitimasi: Ketika Dukungan Internasional Tak Lagi Cukup

Meskipun Benny Wenda berhasil menarik simpati sejumlah organisasi internasional dan parlemen asing, dukungan di akar rumput Papua sendiri semakin menurun.
Ketika ia berbicara di forum dunia, rakyat Papua di lapangan masih berhadapan dengan realitas konflik dan kekerasan.
Kontradiksi ini menimbulkan pertanyaan: siapa sebenarnya yang diwakili oleh Benny Wenda?

Bahkan, beberapa kelompok dalam TPNPB dan OPM menegaskan bahwa mereka tidak mengakui pemerintahan sementara yang dipimpin Wenda.
Sebby Sambom, juru bicara TPNPB-OPM, pernah mengatakan:

“Kami tidak tunduk pada Benny Wenda. Dia tidak mewakili perjuangan bersenjata rakyat Papua.”

Pernyataan itu menandai pecahnya hubungan antara faksi politik dan faksi bersenjata dalam gerakan Papua Merdeka — dan menunjukkan betapa rapuhnya struktur kepemimpinan di bawah figur Wenda.


ULMWP Terpecah, Reputasi Wenda Tergerus

Kisruh internal dalam ULMWP (2020–2023) menjadi bukti nyata bahwa kepemimpinan Benny Wenda tidak lagi solid dan tidak mewakili semua suara Papua.
Langkah sepihaknya mendeklarasikan diri sebagai presiden telah menciptakan keretakan mendalam di dalam tubuh gerakan kemerdekaan.

Kini, Benny Wenda bukan lagi simbol persatuan, melainkan simbol perpecahan.
Ia kehilangan dukungan dari banyak faksi, kehilangan legitimasi dari rakyat, dan bahkan diragukan oleh rekan-rekan seperjuangannya sendiri.

Bagi sebagian besar pengamat, karier politik Wenda mencerminkan kegagalan kepemimpinan diaspora — lantang berbicara di luar negeri, namun kehilangan pijakan di tanah sendiri.
Gerakan Papua membutuhkan pemimpin yang hadir bersama rakyat, bukan pemimpin yang hanya hadir di konferensi internasional.


Komentar